Suwardi (37), petani kopi di Kecamatan Lebong Utara, Kabupaten Lebong, Bengkulu, mengaku tidak tahu maksud yang terkandung dari istilah kabupaten konservasi. Petani kopi ini tetap yakin tidak akan terusik kalau Lebong suatu saat memang betul-betul dikukuhkan sebagai kabupaten konservasi.
”Kabupaten konservasi itu apa ada hubungannya dengan keberadaan saya sebagai petani kopi? Itu urusan pemerintah. Saya ini hanya petani kopi yang sudah menggarap lahan ini bertahun-tahun tanpa ada yang mempersoalkan,” kata Suwardi.
Sebagai putra daerah yang lahir dan dibesarkan di Lebong, pemikiran Suwardi ada benarnya. Pemahamannya amat sederhana, yaitu semua urusan program pemerintah mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah. Rakyat atau petani kerjanya menggarap lahan, berkebun kopi, lalu menjual hasil panen ke pasar atau ke tengkulak. Setelah itu habis perkara. Mereka tak ambil pusing apakah lahan yang menjadi areal perladangan kopi berada di hutan lindung atau di areal taman nasional.
”Dari dulu aman-aman saja menggarap lahan ini. Kami memang pernah dengar, areal kebun kopi di sini termasuk milik saya, berada di areal taman nasional. Hanya sebatas itu. Buktinya, hampir 12 tahun saya tetap aman berladang, tak ada yang mengusir,” ujar Suwardi.
Ribuan petani kopi, petani nilam, dan peladang berpindah lain di Lebong, termasuk Suwardi, memang pantas tidak risau. Saat lahir dan besar mereka mendapati lahan di sekitar itu telah digarap lebih dulu oleh orangtua mereka.
Akan tetapi, bagi Bupati Lebong, Dalhadi Umar, keberadaan sekitar 2.000 keluarga petani penggarap dan peladang berpindah di areal hutan lindung dan TNKS tersebut jelas menjadi persoalan dilematik. Di satu sisi obsesi mewujudkan Lebong sebagai kabupaten konservasi tidak bisa ditawar-tawar lagi. Namun, di sisi lain ada ribuan warga yang sudah menggantungkan hidupnya dari kawasan hutan.
”Konsepsi kabupaten konservasi tidak akan menyengsarakan rakyat Lebong. Karena itu, Pemkab Lebong merasa perlu adanya payung hukum dari pemerintah pusat untuk mengatur di lapangan. Ini semata-mata agar penanganannya tidak berbenturan dan menimbulkan masalah sosial di lapangan, termasuk penanganan ribuan petani penggarap di hutan,” katanya.
Bupati Lebong mengakui degradasi kawasan hutan di Lebong saat ini memang sudah parah. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan lingkungan, Lebong harus menjadi kabupaten konservasi. ”Warga Lebong harus bisa hidup berdampingan dengan hutan, tanpa merusak hutan itu sendiri. Caranya, nanti akan kita atur bersama semua pihak yang terlibat dalam pengamanan hutan,” tutur Dalhadi.
Kabupaten konservasi memang berarti strategis bagi masa depan Lebong. Namun, hingga kini ternyata ada persoalan sosial yang dilematik dan krusial. Akankah obsesi ini bisa diwujudkan? (ahmad zulkani), sumber: Kompas
Tinggalkan komentar