Feeds:
Pos
Komentar

Archive for November, 2007

LEBONG – RB, Hujan deras yang mengguyuri Lebong dini hari kemarin mengakibatkan longsor sebanyak dua titik di Desa Talang Ratu Kecamatan Rimbo Pengadang. Di titik pertama, timbunan tanah dan bebatuan hampir setinggi 2 m menutupi badan jalan selebar 6 m dan menutupi ruas jalan sepanjang 10 m. Kendati tidak menimbulkan korban jiwa dan kerugian material, namun longsor ini mengakibatkan arus lalu lintas Lebong – Curup terganggu. Sejumlah kendaraan yang melewatinya harus bergantian hingga menyebabkan antrian hampir sepanjang 1 km. Karena licin, kendaraan yang melewati titik longsor harus dibantu dorongan warga.

Nofri (26), saat ditemui seusai melewati jalan yang rusak tersebut, mengaku sangat kecewa. Yang saya sesalkan, pemerintah tidak tanggap atas hal ini. Padahal, informasi dari warga, longsor ini terjadi kisaran pukul 03.30 dini hari (kemarin, red). Sementara sekarang sudah jam 12.15 WIB. Artinya, sudah hampir 10 jam. Tapi dibiarkan saja, ujar pria yang mengaku karyawan salah satu perusahaan swasta di Kota Bengkulu.

Hal senada dikatakan Anggota Komisi II DPRD Lebong M Gustiadi yang berdomisili di Desa Talang Ratu. Dia sangat menyesalkan keterlambatan Pemprov dalam mengatasi musibah longsor ini. Padahal, pengawasan terhadap jalan tersebut merupakan tanggung jawab Pemprov.

Bencana longsor di jalan Provinsi ini sudah merupakan fenomena rutin. Bahkan pada tanggal 22 Januari lalu, sudah pernah terjadi bencana serupa. Tapi, tetap saja tidak ada persiapan pemprov untuk mengantisipasinya, kata Gustiadi.

Sementara itu, Sekretaris Kabupaten Lebong Drs. Sulhadie Eddy Irha mengatakan Pemkab telah memerintahkan Dinas PU setempat turun untuk mengatasinya dengan membawa alat berat milik Pemkab. Mudah-mudahan, penanganannya bisa cepat dilakukan. Sehingga, arus lalu lintas pun menjadi lancar seperti semula, kata Sulhadie.

Di lain pihak, pantauan RB memperlihatkan masih ada dua titik jalan di Desa Talang Ratu yang rawan longsor ke arah badan jalan dan ada dua titik jalan rawan longsor mengarah ke jurang terletak di Desa Air Dingin dan Desa Rimbo Pengadang. Karenanya, apabila hari sedang hujan para pengguna jalan harus meningkatkan kewaspadaan. Sebab, tanpa memberikan peringatan, bencana longsor bisa terjadi secara tiba-tiba. (dmi)

Read Full Post »

Harry Siswoyo – 8 Jun 2007 18:45

Sebuah langkah besar sudah diambil Kabupaten Lebong yang telah mewujudkan dirinya menjadi Kabupaten Konservasi bersama empat kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Malino, Wakatobi, Pasir, dan Kabupaten Kapuas Hulu. Di tengah-tengah euforia otonomi daerah dan percepatan pembangunan di masing-masing daerah, harus diakui kalau Kabupaten Lebong cukup ‘berani’ untuk melegitimasikan dirinya menjadi Kabupaten penyelamat lingkungan.

Berangkat dari kabupaten yang memiliki luasan konservasi terbesar, yaitu hampir 70% dari total luas wilayahnya dengan 48 desa tertinggalnya dari 72 desa yang ada. Komitmen Pemerintah Kabupaten Lebong tetap digulirkan, bersamaan dengan pro dan kontranya.

Lalu sejauh manakah kebijakan konservasi ini mampu memberikan manfaat bagi masyarakatnya? Tentu ini merupakan pertanyaan serius yang harus dijawab oleh pemerintahnya. Sebab dahulunya saja, dengan penetapan kawasan Hutan Lindung, Suaka Alam, Cagar Alam dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang sudah sejak dahulu ada, ternyata masih menyisakan polemik yang cukup menyusahkan bagi masyarakatnya.

Masyarakat tidak mendapatkan kompensasi apapun dari kebijakan tersebut. Akses mereka terhadap sumber daya hutan yang selama ini mereka manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menjadi terbatas. Di sisi lain, ada sebagian orang yang memiliki hak atau kemampuan untuk mengakses sumber daya hutan tersebut, dapat dengan leluasa mengeksploitasi (mengambil) tanpa harus membayar biaya pemulihan dan perlindungannya.

Sementara masyarakat kecil sekitar kawasan yang justru menanggung beban atau biaya tersebut. Ironisnya lagi, terkadang masyarakat kecil tersebut yang akan menjadi kambing hitam apabila dampak lingkungan tersebut mengemuka. Bahkan tak jarang ada di antara mereka yang harus berurusan dengan pihak berwajib.

Secara sederhana, pada dasarnya masyarakat sekitar kawasan hutan hanya butuh tempat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif mereka pun memandang bahwa ancaman terhadap kelestarian hutan tentu akan menjadi bahaya bagi kelangsungan hidup mereka. Mereka telah mengenal nilai-nilai konservasi jauh sebelum istilah konservasi dilahirkan.

Kehidupan dulu berjalan dengan teratur, saling bergantung dan harmonis dengan alam. Belum pernah mereka mengenal istilah illegal logging, abrasi, erosi, deplisi, dan lain sebagainya. Mereka hanya tahu adanya nilai-nilai luhur tradisi lokal yang secara turun temurun diajarkan kepada anak cucunya, untuk menghargai alam dan lingkungan tempat mereka tinggal. Kebutuhan hidup mereka tersedia melimpah dan bisa diakses siapa pun tanpa harus berebutan dan konflik di sana-sini.

Namun sekarang, semua cerita itu sudah menjadi cerita lalu dan cerita pengantar tidur. Patok-patok batas kawasan hutan lindung bahkan sudah ada yang masuk ke dalam pekarangan atau dapur rumah mereka. Bagaimana lagi mereka harus beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mau tidak mau untuk mempertahankan hidup, masyarakat akhirnya harus melanggar aturan-aturan tersebut. Mereka mulai merambah kawasan hutan lindung yang notabene tidak boleh diganggu gugat. Toh, mereka juga belajar dari orang-orang atas, yang dengan mudahnya keluar masuk dan mengambil isi hutan tanpa perlu takut terkena sanksi.

Terlepas dari semua permasalahannya, Kabupaten Lebong sebagai Kabupaten konservasi sudah dicanangkan. Hendaknya jangan sampai logika ‘konservasi’ terjebak menjadi logika yang ‘dangkal’ dan lebih mengarah pada ‘preservasi’ (pengawetan). Yang lebih cenderung memandang sumber daya alam sebagai sesuatu yang statis, sehingga aksi-aksi perlindungannya pun hanya bertujuan untuk mengawetkan sumber daya tersebut atau bisa dibilang tidak jauh beda dengan seorang Arkeolog dan benda bersejarahnya.

Konservasi harus dipandang sebagai konsep yang luas, dinamis, dan luwes. Sehingga mampu mengakomodir konflik dan memberikan manfaat secara sosial dan ekonomi bagi masyarakatnya. Jangan sampai kebijakan-kebijakan konservasi tersebut akhirnya hanya sebagai ‘rasionalisasi’ dari eksploitasi secara halus. Sebab dalam perjalanannya selama ini, terbukti dengan semboyan pembangunan berkelanjutannya, ternyata lingkungan dan sumber daya alam hanya menjadi piranti atau tumbal untuk mensukseskan pembangunan dan ekonomi.

Sangat diperlukan komitmen yang kuat, dan dilandasi dengan partisipasi masyarakatnya. Bahkan bukan tidak mungkin kalau kita tak perlu lagi menjual kayu sebagai motor penggerak pembangunan, tapi kita akan menjual oksigen, kita menjual udara bersih sebagai modal pembangunan. Toh, negara-negara lain tentu akan sepakat kalau kita (Indonesia), mampu mempertahankan nilai jasa lingkungan hutan sebagai senjata. Habiskan saja hutan-hutan di Indonesia, mereka akan kalang kabut, sebab dampak lingkungan sebagai akibat pola industrialisasi sekarang tinggal menunggu waktu kapan akan kiamat.

Sekarang fakta yang ada di Lebong adalah bahwa 11.400 keluarga miskin tersebut butuh hidup dan penghidupan. Kebutuhan hidup dewasa ini terus meningkat. Sementara lahan sebagai sumber penghidupan yang tersisa hanya 31,72% (RB, 18 Juli 2006). Itu artinya, dengan jumlah penduduknya yang berjumlah lebih kurang 102.000, maka masing-masing penduduk hanya bisa memanfaatkan lahan seluas 0,5 ha per orangnya. Sebuah realitas sosial yang akan menjadi tantangan bagi Kabupaten Lebong, yaitu bagaimana untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya dengan tanpa harus memaksimalkan sumber daya yang ada.

Yang jelas konsep Kabupaten Konservasi ini tetap harus diberikan acungan jempol, kota Bengkulu saja belum mau memikirkan konsep Green City (kota hijau) sebagai identitasnya. Penyamaan persepsi tentang konsep konservasi sudah selayaknya menjadi agenda utama. Tidak cukup dengan sosialisasi kosong, tapi harus terintegrasi dan mampu mendorong partisipasi aktif dari masyarakatnya. Komitmen bersama dari seluruh unsur terkait, yaitu pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat akan menjadi tonggak awal pengembangan konsep konservasi ini. Bahkan, media massa selaku wahana social control dan educator bagi masyarakat dan pemerintah pun ikut berperan.

Dengan menjadikan lingkungan hidup sebagai salah satu agenda media, maka bukan tidak mungkin berikutnya akan menjadi agenda publik. Opini publik dan penyadaran mereka terhadap permasalahan lingkungan akan terbangun dengan sendirinya. Dan tentunya ke depan, opini publik yang terbangun tersebut tentunya akan mampu menyentuh agenda kebijakan dari pemerintah.

Sekarang, tinggal kapan kita akan memulainya dan mau menunjukkan tanggung jawab kita terhadap lingkungan. Terserah apa pun itu profesinya, yang jelas permasalahan lingkungan adalah tanggung jawab kita sebagai manusia, toh Kabupaten Lebong saja sudah mau menunjukkan dirinya sebagai Kabupaten Konservasi.

Penulis adalah Koordinator Pengembangan Kelembagaan SPORA (Solidaritas untuk Pengelolaan Lingkungan Berbasis Masyarakat), Mantan Ketua Umum Pencinta Alam Fakultas Ekonomi Universitas Bengkulu (PAFE-UNIB) 2003-2004, Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Bengkulu, Jurusan Ekonomi Pembangunan.

Read Full Post »

Warga Suku Rejang di Desa Bandar Agung, Kecamatan Tapus, Kabupaten Lebong, menyelenggarakan Kedurai Agung sebagai upaya terhindar dari malapetaka, Rabu (6/12). Ritual adat itu diadakan di pinggir Sungai Ketaung, dengan menghamparkan sesajen kepada leluhur.Warga Suku Rejang di Desa Bandar Agung, Kecamatan Tapus, Kabupaten Lebong, menyelenggarakan Kedurai Agung sebagai upaya terhindar dari malapetaka, Rabu (6/12). Ritual adat itu diadakan di pinggir Sungai Ketahun, dengan menghamparkan sesajen kepada leluhur.
Setelah dua tahun ditinggalkan, Kedurai Agung khas suku Rejang kembali dilaksanakan di Desa Bandar Agung, Kecamatan Tapus, Kabupaten Lebong, di timur Provinsi Bengkulu. Orang Rejang di desa yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat itu melaksanakannya pada tanggal 5 dan 6 Desember lalu.

Desa Bandar Agung di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) itu dihuni suku Rejang, salah satu suku tertua di Sumatera yang diyakini menjadi cikal-bakal masyarakat Bengkulu. Dalam percakapan sehari-hari, mereka bertutur dengan bahasa Rejang yang nyaris punah karena kini semakin jarang digunakan masyarakat setempat.

Desa Bandar Agung bisa ditempuh kurang-lebih empat jam perjalanan darat dari Kecamatan Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong. Untuk menuju ke desa yang berada di TNKS ini, beberapa perbukitan harus dilalui. Jalan mulus beraspal akan berujung pada jalan tanah berbatu yang sempit, sewaktu tiba di “gerbang” taman nasional itu.

Sejak pukul 08.00, puluhan Tun Jang (sebutan untuk orang Rejang) telah berkumpul di rumah Busroni, Kepala Desa Bandar Agung. Mereka bergotong-royong menyiapkan berbagai peralatan untuk melaksanakan Kedurai Agung yang ditinggalkan selama dua tahun terakhir.

Hari itu, Minggu (6/12), merupakan hari ke-16 dari bulan Zulkidah, penamaan bulan dalam tradisi Tun Jang. Bulan itu diyakini sebagai bulan hama dan penyakit, ditandai dengan munculnya hama tanaman dan serangan penyakit untuk semua makhluk.

Selama dua tahun tidak menyelenggarakan Kedurai Agung, desa itu nyatanya kerap dilanda musibah. Penyakit muntaber sempat meluas di desa yang berpenduduk 787 jiwa itu pada tahun 2004 dan 2005. Selain itu, penyakit cacar juga menyerang 10 orang dalam dua tahun terakhir.

Busroni (37), Kepala Desa Bandar Agung, meyakini penyakit itu menandai awal bumi panas atau malapetaka. Salah satu pemicunya, ya, karena tidak diselenggarakannya kedurai yang seharusnya diadakan satu kali setiap tahun.

“Kami sudah mendapat peringatan untuk meminta maaf kepada alam yang dijaga para leluhur. Untuk menghindari malapetaka yang lebih besar, tradisi Kedurai Agung harus dijalankan kembali,” kata Busroni.

Maka, pagi itu mereka menggelar Kedurai Donok (Laut) yang merupakan bagian dari Kedurai Agung. Ritual itu dipimpin Chong Pin (78), pawang ritual suku Rejang.

Beberapa pria menganyam bambu untuk dibuat acak, yaitu wadah untuk sesajen. Sesajen untuk ritual itu meliputi darah ayam (monok bae) yang disimpan di mangkok, minyak goreng, minyak manis, sirih matang, sirih mentah, 99 jeruk nipis, 99 batang rokok, serta tiga jenis bunga (mawar, cempaka gading, dan cepiring).

Bahan lainnya yang juga dipergunakan untuk ritual itu antara lain 198 butir beras kunyit, kue tepung beras (sabai), benang tiga warna (putih, merah, dan hitam).

Selanjutnya, masyarakat berduyun-duyun menuju ke Sungai Ketaung di pinggiran desa. Sungai itu menjadi tempat penyelenggaraan Kedurai Donok karena diyakini merupakan jalur perlintasan arwah para leluhur dari laut.

Batu-batu alam terlihat di dasar sungai. Air jernih dan rimbunnya pepohonan di kanan kiri sungai menambah keindahan sungai di areal TNKS.

Acak yang berisi sesajen diletakkan di atas cagak bambu yang disebut sunggea. Warga kemudian menghamparkan selembar kain terpal pada tanah. Bahan-bahan penunjang ritual pun diletakkan di atas terpal.\

Berdamai dengan leluhur

Didampingi Saraya (78), tetua masyarakat, Chong Pin duduk di atas kain terpal bersama dengan dua pemuda dan pemudi desa. Beberapa kali Chong Pin menebarkan beras kuning ke sekelilingnya, seraya menyampaikan permohonan kepada arwah leluhur.

Suku Rejang meyakini arwah leluhur mereka menghuni gunung dan laut. Prosesi kedurai untuk menghormati leluhur dari gunung (Kedurai Tebo) dilakukan sehari sebelumnya, 5 Desember. Kedurai Tebo merupakan wujud permintaan maaf, penghormatan, sekaligus permohonan kepada tebo (harimau) agar terhindar dari malapetaka. Tebo atau harimau di wilayah itu sangat dihormati karena diyakini merupakan wujud leluhur mereka di gunung.

Seperti halnya Kedurai Donok, Kedurai Tebo juga menggunakan sesajen, antara lain sirih matang dan sirih mentah, tiga butir telur, beras kunyit, dupa, rokok, kemenyan, dan minyak goreng. Sesajen itu diletakkan di perbatasan desa yang berupa semak-semak di pinggiran hutan.

Tun Jang meyakini gangguan-gangguan penyakit selama ini disebabkan kemarahan leluhur karena keseimbangan alam terganggu. Kedurai Agung merupakan kenduri untuk berdamai kembali dengan para leluhur sehingga desa itu terhindar dari musibah penyakit pada manusia, ternak, dan tumbuhan.

Kedurai atau kenduri sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk kepercayaan animisme yang dipertahankan masyarakat suku Rejang yang sebagian besar kini telah memeluk agama Islam.

Tampaknya, inilah bentuk kearifan suku Rejang dalam menjaga lingkungan. Kearifan yang sama juga dilakukan untuk menjaga moral dan akhlak masyarakatnya, yakni melalui peradilan adat yang bertujuan menertibkan hak adat di wilayah itu.

Menurut tokoh masyarakat Desa Bandar Agung, Adnan Romli (49), tersangka pelanggar adat akan dipertemukan dengan tokoh-tokoh adat untuk dimintai penjelasan. Peradilan ini juga disertai sanksi bagi warga yang terbukti melanggar hukum ada.

Sumber: Kompas
Penulis: BM LUKITA GRAHADYARINI

Read Full Post »

Suku Rejang, yang dikenal sebagai satu di antara sedikit suku asli penduduk Bengkulu, memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya itu meliputi tulisan, adat istiadat, hukum adat, kesenian, dan sastra. Khusus untuk sastra lisan, suku ini juga memiliki berbagai macam jenis sastra, antara lain Nandei, Geritan, Berdai, Pantun, Syair, Sambei, dan Serambeak. Jenis sastra yang disebut terakhir inilah yang lebih populer digunakan sehari-hari — baik oleh orangtua, remaja, dan anak-anak — dalam berinteraksi.

Kekayaan budaya suku Rejang, dalam pandangan seorang pemerhati masalah budaya di Bengkulu, Drs Tommy Suhaimi MSi, direfleksikan dengan banyaknya orang asing serta pejabat pemerintahan di zaman Belanda dan Inggris yang menulis dokumen tentang suku-bangsa ini. Setiap kali akan mengakhiri jabatannya di wilayah yang didiami suku Rejang, pejabat penjajahan di masa lalu itu selalu menyempatkan untuk menulis dokumen tentang suku Rejang dalam bentuk pidato pertanggungjawabannya. Dokumen ini di kemudian hari menjadi bahan kajian bagi pejabat berikutnya.

Serambeak sendiri bisa diartikan sebagai pengungkapan cetusan hati nurani dengan menggunakan bahasa yang halus, indah, berirama, dan banyak menggunakan kata-kata kiasan. Menurut Tommy, yang kini menjabat Kepala bagian Humas Pemda Kodia Bengkulu, serambeak dipakai dalam bidang yang cukup luas oleh suku Rejang. Dalam kehidupan sehari-hari — waktu bermusyawarah maupun mengobrol biasa — sering disisipkan serambeak di tengah pembicaraan. Begitu juga ketika menyambut tamu yang dihormati, serta dalam rangkaian kegiatan perkawinan, dalam pergaulan muda-mudi, dan lain-lain.

Salah satu contoh serambeak yang umum adalah:
Indo ro dep i’o ba taai, ne,
Indoro gung i’o ba keliuk ne
(Bagaimana bunyi rebab begitulah tarinya,
bagaimana bunyi gong begitulah lenggangnya).
Maksud serambeak ini adalah bahwa sesuatu tindakan atau kegiatan seseorang hendaklah sesuai dengan situasi dan kondisinya.

Serambeak juga biasa digunakan saat seseorang menasehati orang lainnya agar menyesuaikan diri dengan lingkungan baru serta bergaul dengan orang lain. Demikian pula nasehat agar dalam mendidik dan menjaga anak bujang maupun gadis, para orangtua hendaklah hati-hati penuh kearifan dan bijaksana. Nilai agama haruslah ditanamkan sejak kecil.

Bagi suku Rejang, tamu memiliki arti penting yang harus dihormati dan dilayani dengan baik. Oleh sebab itu serambeak khusus untuk tamu juga banyak ragammnya. Di antaranya:
Dio ade iben sapai daet, moi mbuk iben.
Iben ade delambea, gambea ade decaik, pinang ade desisit, rokok ade depun.
Ibennyo iben pena’ak magea suko panggea.
Salang tun dumai belek moi talang.
Salang tun talang belek moi sadei.
Dapet kene ta’ak dengen tawea.
Salang magea mendeak simeak.
Arak suko padaa ngalo.
Arak magea mendeak simeak.
Agang magea suko panggea.

Terjemahannya kira-kira:
Ada sirih terhampai di darat, makanlah sirih. Sirih ada selembar, gambir ada secarik, pinang ada seiris, rokok ada sebatang. Sirih ini sirih penyapa untuk para tamu yang berdatangan. Sirih penyapa bukan karena membuat kesalahan, tidak pula karena membuat yang tidak baik. Sirih penyapa karena kami penuh harap, harap kepada tamu yang datang. Gembira karena memenuhi undangan. Sedangkan orang di ladang pulang ke talang, orang di talang pulang ke dusun. Semuanya diundang, rasa suka dan gembira atas kedatangan tamu semuannya.

Bagi muda-mudi, kesantunan seseorang terucap dari serambeak yang disampaikan. Berikut ini contohnya:
Tun meleu diem puluk kelem.
Tun titik diem beak lekok.
(Orang hitam diam ditempat gelap.
Orang kecil berada di lembah yang dalam).
Serambeak ini bermaksud sebagai sikap merendahkan diri bahwa ia orang yang serba kekurangan dan penuh kelemahan. Pemakainya biasa digunakan oleh remaja waktu pacaran sebagai ungkapan bahwa ia penuh kekurangan.

Contoh serambeak muda-mudi lainnya:
Asai tekecep tebau nak talang.
Asai tekenem bioa nak imbo.
Asai mendaki munggeak mendatea.
(Rasa tercicip tebu di Talang.
Rasa terceminum air digunung.
Rasa lega ketika tiba di tempat datar setelah mendaki tebing yang tinggi).
Serambeak ini bermakna cetusan kegembiraan ketika seseorang mendengar atau mendapatkan sesuatu yang telah lama didambakan. Biasa digunakan oleh muda-mudi ketika mendegar sang pujaan memberikan harapan-harapan yang muluk atau sesuatu yang diinginkan.

Keunikan suku Rejang yang jumlahnya diperkirakan sekitar 900 ribu jiwa — mereka menghuni Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Musi Rawas (Sumsel), dan Kabupaten Lahat (Sumsel) — mampu menarik perhatian peneliti asing. Burhan Firdaus dalam bukunya Bengkulu dalam Sejarah yang diterbitkan oleh Yayasan Seni Budaya Nasional Indonesia 1988, mengungkapkan adanya seorang peneliti dari Australia Prof MA Jaspan dari Australia National University (ANU) yang menetap bersama keluarga setempat tahun 1961-1963 untuk meneliti suku bangsa Rejang.

Jaspan menghasilkan beberapa buku, antara lain From Patriliny to Matriliny, Structural Change Amongst the Redjang of Soutwest Sumatra, Folk Literature of South Sumatra: Redjang Ka-ga-nga Texts, dan The Redjang Village Tribunal. Buku-buku itu sampai kini jadi bahan kajian penting bagi mahasiswa asing yang mengambil studi sejarah budaya Indonesia.

Residen kedua Bengkulu, Prof Dr Hazairin SH, yang oleh pemerintah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada 10 Nopember 1999, mempertahankan disertasi doktornya berjudul De Redjang untuk mendapatkan gelar PhD, dalam bidang hukum adat.

Menurut Ketua Masyarakat Adat Bengkulu Zamhari Amin, serambeak membuktikan bahwa nenek moyang kita dahulu mempunyai budi bahasa, sopan santun, perasaan hati nurani yang halus, dan tatacara pergaulan yang tinggi nilainya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya generasi muda sebagai generasi penerus mengadakan penelitian, pengumpulan, guna menggali dan menghidupkan kembali budaya yang tinggi nilainya agar diketahui dan dipelajari oleh khalayak ramai.

Kalangan orangtua yang masih memahami dan menguasai dinamika kebudayaan sukubangsa Rejang, menurut Zamhari, kini sudah semakin berkurang. Mereka pada umumnya tidak meninggalkan bukti tertulis tentang seluk-beluk kebudayaan Rejang.

”Jika kondisi ini terus berlangsung, dalam lima dasawarsa mendatang, tidak hanya serambeak, tapi kebudayaan suku Rejang tidak akan diketahui lagi oleh generasi mudanya. Selain itu, orang Rejang sendiri terdistorsi oleh kebudayaan lain bahkan budaya asing,” ujarnya.
maswandi (republika.co.id)

Read Full Post »

Lebong Rawan Bencana

TUBEI, BE- Lebong merupakan kawasan rawan bencana. Selain banjir dan tanah longsor, ancaman lainnya adalah gempa bumi. Soalnya, berdasarkan keterangan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Cabang Bengkulu, Bambang Purbiantoro, Lebong berada di lintasan patahan Sumatera.

Berdasarkan keterangan yang kita peroleh, Lebong sering menjadi pusat gempa karena patahan Sumatera yang melintas di Provinsi Bengkulu berdekatan dengan Lebong, terang Ketua PMI (Palang Merah Indonesia) Lebong, H Rusdi Mahmud SKM.
Terkait hal itu, lelaki yang juga menjabat sebagai Kadisdinkes Lebong itu mengharapkan masyarakat waspada. Hanya saja masyarakat tak perlu panik dan takut.

Sementara itu, kategori rawan bencana banjir dan longsor, lanjut Rusdi, mencakup hampir setengah wilayah pemukiman masyarakat. Dari total desa/kelurahan yang berjumlah 77, 38 desa/keluruhan masuk kategori tersebut. Pengkategorian tersebut berdasarkan pengalaman bencana yang telah terjadi dan pertimbangan kondisi geografis dan topografis. Terletak di daerah perbukitan yang sebagian besar berada diatas 1000 m dpl (di atas permukaan laut) serta memiliki kemiringan lebih dari 40 derajat.

Status tersebut ditetapkan sebagai langkah untuk meningkatkan kewaspadaan kita dalam mengantisipasi dan menanggulanginya. Intinya, kami berharap masyarakat bisa lebih waspada, kata Rusdi.

Dikatakan Rusdi, sejauh ini pihaknya sudah melatih 30 orang anggota KSR yang dipersiapkan sebagai tenaga sukarela yang handal. Sehingga, apabila terjadi bencana alam maka anggota KSR lah harus yang lebih proaktif memberikan bantuan pada warga.

Anggota KSR yang dilatih merupakan representasi dari setiap kecamatan. Sengaja dipilih seperti itu, supaya jalur komunikasi dan koordinasi yang dilakukan bisa efektif dan efisien, kata Rusdi. (467)

//grafiss
Nama Desa/Kelurahan Rawan Longsor dan Banjir

Desa/Kelurahan Status
1.Tanjung Agung Rawan Longsor
2.Danau Rawan Longsor
3.Atas Tebing Rawan Longsor
4.Talang Leak I Rawan Banjir
5.Talang Leak II Rawan Banjir
6.Bungin Rawan Banjir Bandang
7.Ujung Tanjung I Rawan Banjir
8.Ujung Tanjung II Rawan Banjir
9.Talang Ratu Rawan Longsor
10.Sukasari Rawan Longsor
11.Kota Donok Rawan Longsor
12.Mangkurajo Rawan Longsor
13.Tes Rawan Longsor
14.Tik Kuto Rawan Longsor
15.Rimbo Pengadang Rawan Longsor
16.Tanjung Rawan Banjir
17.Talang Donok Rawan Banjir
18.Tapus Rawan Longsor
19.Suka Negeri Rawan Longsor
20.Bandar Agung Rawan Banjir Bandang
21.Limau Pit Rawan Banjir
22.Taba Seberang Rawan Banjir
23.Seblat Ulu Rawan Longsor
24.Katenong I Rawan Banjir Bandang
25.Katenong II Rawan Banjir Bandang
26.Talang Bunut Rawan Banjir
27.Bentangor Rawan Banjir
28.Garut Rawan Banjir
29.Kota Agung Rawan Banjir
30.Kota Baru Rawan Banjir
31.Embong Uram Rawan Banjir
32.Lemeu Rawan Banjir
33.Ladang Palembang Rawan Longsor
34.Lebong Tambang Rawan Longsor
35.Talang Ulu Rawan Longsor
36.Kampung Dalam Rawan Longsor
37.Kampung Gandung Rawan Longsor
38.Lebong Donok Rawan Banjir

Read Full Post »