Feeds:
Pos
Komentar

Archive for November, 2008

Oleh Naim Emel Prahana
Suku bangsa Rejang sebagian besar berdiam di wilayah Bengkulu dan sebagian berdiam di daerah provinsi Sumatera Selatan. Di Sumatera Selatan pada tahun 1961 berdasarkan cacah jiwa (sensus penduduk) menyebutkan jumlah masyarakat suku bangsa Rejang di Sumatera Selatan lebih kurang sekitar 500.000 orang.

Saat ini suku bangsa Rejang mendiami daerah Kabupaten Rejang Lebong (kabupaten Kepahiang, kabupaten Lebong), Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah. Dan, di Sumatera Selatan suku bangsa Rejang tersebar di daerah Lahat dan Musi Ulu, Musi Rawas dan Pagar Alam.

Ketika diadakan sensus penduduk tahun 1961 suku bangsa Rejang berdiam di marga-marga di daerah: Suku Rejang berasal dari Lebong (dulu namanya Renah Sekalawi)
1. Marga Suku IX di daerah Lebong. Kepala marganya berkedudukan di dusun Muara Aman dengan jumlah penduduknya sebanyak 5.972 pria dan 6.826 wanita.
2. Marga suku VIII di wilayah Lebong pasirahnya berkedudukan di dusjn Talang Leak; terdiri dari 5.972 pria dan 6.252 wanita.
3. Marga Bermani Jurukalang di Lebong; pasirahnya berkedudukan di dusun Rimbo Pengadang dengan penduduk 4.110 pria dan 4.138 wanita.
4. Marga Selupu Lebong di daerah Lebong, pasirahnya berkedudukan di dusun Taba Baru dengan penduduk 564 pria dan 637 wanita.
5. Marga Bermani Ulu di Lebong, pasirahnya berkedudukan di dusun Sawah berpenduduk 4.813 pria dan 4.565 wanita.
6. Marga Selupu Rejang di wilayah Rejang, pasirahnya berkedudukan di dusun Kesambe (Sambe) dengan penduduk 13.957 pria dan 13.295 wanita.
7. Marga Merigi di wilayah Rejang, pasirahnya berkedudukan di dusun Daspata dengan penduduk 7.286 pria dan 6.951 wanita.
8. Marga Bermani Ilir di daerah Rejang, pasirahnya berkedudukan di dusun Keban Agung dengan penduduk 9.242 pria dan 9.126 wanita.
9. Marga Sindang Beliti di daerah Rejang, pasirahnya berkedudukan di dusun Lubuk Belimbing dengan penduduk 3.524 pria dan 3.514 wanita.
10. Marga Suku Tengah Kepungut di daerah Rejang, pasirahnya berkedudukan di dusun Lubuk Mumpo dengan penduduk 2.360 pria dan 2.250 wanita.
Kemudian ada kelompok-kelompok orang Rejang yang tinggal di pasar-pasar Muara Aman, Curup, Kepahiang, Padang Ulak Tanding, dan di Marga Sindang kelingi.
11. Marga Selupu Baru di daerah Pesisir, pasirahnya berkedudukan di dusun Taba Penanjung dengan penduduk 1.635 pria dan 1.728 wanita
12. Marga Selupu Lama di daerah Pesisir, pasirahnya berdiam di dusun Karang Tinggi dengan jumlah penduduk 1.766 pria dan 1.791 wanita.
13. Marga Merigi Kelindang di daerah Pesisir, pasirahnya di dusun Jambu dengan penduduk 933 pria dan 993 wanita
14. Marga Jurukalang di daerah Pesisir, pasirahnya berada di dusun Pagar Jati berpenduduk 1.634 pria dan 1.964 wanita.
15. Marga Bang Haji di daerah Pesisir, pasirahnya berdiam di dusun Sekayun, penduduknya 882 pria dan 854 wanita.
16. Marga Semitul di daerah Pesisir, pasirah berkedudukan di dusun Pondok Kelapo dengan penduduk 2.031 pria dan 2.027 wanita.
17. Marga Bermani Sungai Hitam di daerah Pesisir, pasirahnya berkedudukan di dusun Pasar Pedati dengan penduduk 1.412 pria dan 1.370 wanita.
18. Marga Bermani Perbo di daerah Lais, pasirahnya berkedudukan di dusun Aur Gading dengan penduduk 782 pria dan 755 wanita.
19. Marga Bermani Palik di daerah Lais, pasirahnya berkedudukan di susun Aur Gading berpenduduk 3.741 pria dan 3.646 wanita.
20. Marga Kerkap di daerah Lais, pasirahnya berkedudukan di dusun Kerkap berpenduduk 1.957 pria dan 2.055 wanita.
21. Marga Air Besi di daerah Lais, pasirahnya berdiam di dusun Pagar Banyu, penduduk 2.048 pria dan 2.164 wanita.
22. Marga Lais di Lais, pasirahnya berdiam di dusun Rajo penduduk 5.132 pria dan 5.006 wanita.
23. Marga Air Padang di Lais, pasirahnya berdiam di dusun Padang Kala, penduduk 1,050 pria dan 973 wanita.
24. Marga Bintuhan di daerah Lais, pasirahnya di dusun Pagar Ruyung, penduduk 1.109 pria dan 1.120 wanita.
25. Marga Sebelat di Lais, pasirahnya di dusun Sebelat, penduduk 723 pria dan 835 wanita. Perkembangan orang-orang Rejang di daerah Sebelat itu kemudian menyebar di pasar-pasar Lais, Ketahun dan di Marga Proatin XII.
Semua masyarakat di atas, yaitu sebanyak 18 termasuk dalam hokum ada di daerah Kabupaten Bengkulu Utara.

Keterangan Tambahan.
Dalam perkembangannya suku Rejang yang berasal dari Lebong itu merantau ke berbagai daerah, yang menggunakan transportasi sungai, seperti Air Ketahun, Air Kelingi, Sungai Musi, Air Lakitan, dan Air Rupit. Melalui jalur sungai (air) itulah kemudian suku Rejang memasuki wilayah Sumatera Selatan yang tersebar dan berdiam di wilayah kabupaten Musi Ulu Rawas dan Lahat. Sekarang kabupaten-kabupaten tersebut sudah dimekarkan.

Wilayah Kediaman Suku Rejang di Musi Ulu Rawas
26. Marga Muara Rupit, pasirahnya berdiam di dusun Muara Rupit dengan penduduk 3.185 pria dan 3.196 wanita.
27. Marga Rupit Ilir kedudukan pasirahnya di dusun Batu Gajah dengan penduduk 2.673 pria dan 2.692 wanita.
28. Marga Rupit Tengah kedudukan pasirahnya di dusun Ambacang dengan penduduk 2.204 pria dan 1.974 wanita.
29. Marga Rupit Dalam kedudukan pasirahnya di dusun Sukarmenang penduduk 2.245 pria dan 2.111 wanita.
30. Marga Proatin V kedudukan pasirahnya di dusun Taba Pingin penduduk 8.174 pria dan 7.625 wanita.
31. Marga Tlang Pumpung Kepungut kedudukan pasirahnya di dusun Muara Kati penduduk 4.757 pria dan 4.514 wanita.
32. Marga Sindang Kelingi Ilir kedudukan pasirahnya di dusun Nangka penduduk 8.557 pria dan 7.970 wanita.
33. Marga Batu Kuning Lakitan kedudukan pasirahnya di dusun Selangit penduduk 3.137 pria dan 3.076 wanita.
34. Marga Suku Tengah Lakitan Ulu kedudukan pasirahnya di dusun Terawas penduduk 3.596 pria dan 3.379 wanita.

Wilayah Suku Rejang di Kabupaten Lahat
35. Marga Sikap Dalam Musi Ulu kedudukan pasirahnya di dusun Berugen penduduk 3.081 pria dan 3.230 wanita.
36. Marga Tedajin kedudukan pasirahnya di dusun Karang Dapo penduduk 4.463 pria dan 4.601 wanita.
37. Marga Kejatan Mandi Musi Ulu kedudukan pasirahnya di dusun Tanjung Raya penduduk 2.930 pria dan 3.137 wanita.
38. Marga Lintang Kiri Suku Sadan kedudukan pasirahnya di dusun Tanjung Raman penduduk 3.305 pria dan 3.333 wanita.
39. Marga Semidang kedudukan pasirahnya di dusun Seleman penduduk 3.838 pria dan 4.060 wanita.
40. Marga Kejatan Mandi Lintang kedudukan pasirahnya di dusun Gunung Meraksa penduduk 5.340 pria dan 5.604 wanita.
41. Marga Lintang Kanan Suku Muara Pinang kedudukan pasirahnya di dusun Muara Pinang penduduk 3.838 pria dan 3.947 wanita.
42. Marga Lintang Kanan Suku Muara Danau kedudukan pasirahnya di dusun Muara Danau penduduk 4.947 pria dan 5.071 wanita.
43. Marga Lintang Kanan Suku Babatan kedudukan pasirahnya di dusun Babatan penduduk 1.380 pria dan 2.927 wanita.

Berdasarkan masyarakat hokum adapt Rejang yang ada di daerah Lahat tersebut merupakan masyarakat hukum ada yang berdasarkan geneologis.Namun demikian masyarakat hukum ada, juga didasarkan semata-mata karena territorial (wilayah).

Marga
Mengenai istilah marga dalam masyarakat Rejang, sebenarnya bukan asli dari suku Rejang melainkan dibawa dan diterapkan oleh Asisten Residen Belanda di Keresidenan Palembang, J Waland. J Waland membawa konsep ke-marga-an itu dari Palembang ke Bengkulu tahun 1861. (mungkin untuk lebih pasnya silakan baca Adatrectbundel XXVII hal 484-6.)

Di dalam IGOB (Inlandsch Gemeente OrdonantieBuitengewesten) tahun 1928 Belanda secara resmi menerap system pemerintahan yang diberi nama Marga. Sedangkan pengaturan system pemerintah di Lampung baru diatur pada tahun 1929. seperti termuat dalam Staatblad 1929 N0 362. Waktu itu Lampung dijadikan satu Afdeling yang dipimpin seorang Residen.

Satu wilayah Afdeling terbagi dalam 5 (lima) onder afdeling masing-masing dikepalai oleh seorang kontolir yang dijabat oleh orang Belanda. Sedangkan system marga di Bengkulu—khususnya pada masyarakat Rejang diterapkan pada tahun 1861 yang dibawa oleh J Waland dari Palembang. Dengan demikian, penerapan pemerintah marga di Bengkulu lebih tua dari di Lampung.

Suku Rejang dikenal mudah penerima pendatang dalam pergaulan sehariu-hari. Namun, di balik penerimaan tersebut. Suku Rejang (Orang Rejang) sering melupakan identitas mereka, karena mudah percaya dengan pendatang. Sebagai satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia, suku bangsa Rejang 100% menganut agama Islam. Mata pencaharian utama adalah dari sektor pertanian.

Dalam perkembangannya, suku bangsa Rejang atau Suku Rejang (boleh disebut dengan kata Orang Rejang) banyak melakukan reformasi pola pikir dari pola pikir agraris tradisional ke pola pikir pendidik formal. Masyarakat Rejang pada awalnya banyak mengirimkan putra-putrinya bersekolah ke daerah Sumatera Padang dengan tujuan Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh dan daerah lainnya.

Di samping itu banyak dari mereka bersekolah di Palembang, dan sangat sedikit melanjutkan pendidik ke Jawa. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Baru sekitar tahun 70-an kelanjutan sekolah orang-orang Rejang berkiblat ke Jawa, terutama Yogyakarta, Jakarta dan Bandung dan adapula yang menerobos ke Medan.

Akibat banyaknya putra-putri orang Rejang pergi merantau melanjutkan pendidikan di luar Bengkulu membawa konsekuensi logis terhadap pertambahan penduduk di Lebong, Rejang dan sekitarnya—di dalam wilayah provinsi Bengkulu. Pertambahan penduduknya lamban.

Dipelopori orang Rejang dari Kotadonok, Talangleak, Semelako dan Muara Aman yang banyak menjadi pejabat di luar daerah, jadi anggota TNI dan Polri. Akhirnya sekitar tahun 1980-an orang Rejang yang jadi anggota TNI dan Polri serta PNS semakin banyak dan bertebaran dari Aceh sampai Irian Jaya. (bersambung)

Read Full Post »

Oleh Naim Emel Prahana
Dari berbagai sumber dan informasi

SEJAK zaman kolonial tempoe doeloe, masyarakat Rejang di pusat asal usul sukubangsa ini di Renah Sekalawi, yang sekarang dikenal dengan nama Lebong. Sudah mengenal beberapa jenis alat transportasi. Alat-alat itu dipergunakan sesuai dengan kebutuhannya.
Pada zaman dahoeloe kala itu, masyarakat Rejang (Tun Jang, pen) sudah kenal dengan Stoom (mobil), motor pit (sepeda motor ), Krita (speda dayung), Datai (pedati), biduk (perahu), eket (rakit) dan lainnya.
Walaupun beberapa jenis alat transportasi itu langka, di daerah Lebong sudah ada. Sampai tahun 1971 jumlah kendaraan angkutan umum yang membuka trayek ke Lebong, masih sangat sedikit. Boleh dihitung dengan jari jumlahnya. Salah seorang pengusaha angkutan umum pada saat itu adalah Marzuki. Dia juga akrab dipanggil dengan nama ‘mamak’ Zuki.
Lelaki berasal-usul dari Topos itu, kemudian keluarga besar orangtuanya bertempat tinggal di Metro dan kemudian pindah ke Lemeu Pit (Limau Pit) dekat Muara Aman. Namun, sebagai pemuda yang kreatif, Marzuki setelah menikah menetap di Kota Curup, ibukota kabupaten Rejang Lebong.
Nama perusahaan angkutan umumnya sampai tahun 1970 adalah PO Pujaan. Mobil Pujaan itu sangat dikenal di seluruh pelosok Lebong. Oleh karenanya, ketika jumlah mobilnya yang berukuran bis tanggung itu bertambah. Maka, namanya pun dibuat menjadi Pujaan A, Pujaan B, Pujaan C dan seterusnya.
Pada tahun 1971 semua bis Pujaannya dinon aktifkan, karena situasi dan kondisi ekonomi. Kemudian Marzuki membeli bis besar dari Padang yang kemudian diberi nama PO Rangkiang. Nama Rangkiang itu sendiri dalam bahasa Minangnya berarti lumbung besar tempat penyimpanan hasil bumi, terutama padi.
Yang tidak terlupakan ketika saya pergi ke Padang Panjang tahun 1971. Kami naik bis Rangkiang. Dari Curup ke Padang Panjang kami tempuh selama 10 hari lebih dengan perjalanan melewati jalan yang rusak parah. Bahkan, kami pernah beberapa hari di tengah hutan. Di sisi lain, tidak ada jembatan antara Lubuk Linggau (Sumatera Selatan) dengan Sawahlunto.
Semua penyeberangan melalui sungai-sungai dilakukan dengan perahu pantheon. Yaitu semacam rakit besar yang didorong oleh bantuan bamboo dan tali yang membentang di atas sungai. Jika kita sampai malam hari di tepi sungai, maka harus menginap. Karena si pemilik pantheon hanya menyeberangkan kendaraan pada siang hari. Dapat dibayangkan perjalanan selama 10 hari lebih melewati jalan yang benar-benar rusak, artinya ruas jalan masih berupa tanah walau badan jalan sudah ada. Karena merupakan badan jalan yang dibuat di zaman Hindia Belanda.
Kini, Marzuki sudah lama meninggal dunia. Tidak ada regenarasi kecintaannya di dunia angkutan umum. Anak tertuanya, putrid sekarang berada di Bengkulu dan yang lainnya tidak diketahui di mana mereka bertempat tinggal.
Di Lebong pada tahun 1971, untuk berangkat ke Curup dibutuhkan waktu setengah hari menunggu mobil lewat. Namun, pasca tahun 1971 Lebong berangsur membaik dengan pembangunan sarana fisik dan non fisiknya. Tetapi, belum begitu menggairahkan. Boleh dikatakan Lebong yang statusnya hanya wilayah kecamatan itu terisolir dari dunia luar.

Transportasi Lokal
Masyarakat Rejang di Lebong kurun yang panjang menggunakan jenis transportasi local, seperti pedati, bobot dan kerbau, serta perahu. Kebanyakan untuk berpergian digunakan dengan jalan kaki, berapa pun jauhnya. Sebab, belum ada yang punya sepeda motor atau sepeda, apalagi memiliki sebuah mobil.
Padahal, anggota masyarakat Rejang di Lebong pada saat yang sama sudah banyak yang merantau dan berhasil di perantauan. Baik sebagai pegawai negeri sipil, tentara, polisi dan wiraswasta. Tokoh-tokoh pembaruan yang cukup terkenal zaman itu antara lain Mohammad Husein (putra Kotadonok yang menjadi gubernur Sumatera Bagian Selatan) yang namanya sekarang diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum (RSU) Palembang.
Generasi berikutnya ada nama-nama seperti H Zulkarnain (swasta, tinggal di Curup), H Jamaan Nur (PNS di Bengkulu), M. Rivai (pegawai Bank di Jakarta), Alak Masjkoer (swasta, di Bukittingi, Sumatare Barat), Rahmatsyah (petani, tinggal di Kotadonok) , Zulkarnain Said (Dosen Unand di Padang), M Fakhrudin (dosen di Lampung), HM Ilyas (dari Topos, swasta di Curup), M Bachir (PNS di Metro, Lampung), Affan (TNI AU di Medan), Dahlan (TNI AL di Surabaya), Jhoni Anwar (TNI di Lampung), Syaiful Nawas (TNI di Lampung), dan keluarga Pangeran Kotadonok di Palembang, Jakarta dan Bengkulu.
Mereka adalah sebagian dari tokoh-tokoh dengan regenerasi tokoh masyarakat Rejang di Lebong. Dan, dari idolaisme masyarakat kepada mereka, akhirnya banyaklah orang Rejang di Lebong merantau ke luar provinsi Bengkulu. Mereka adalah panutan masyarakat Lebong pada umumnya, terutama dari Bermani Jurukalang.

Kondisi transportasi di Lebong antara tahun 1950—1975 masih sangat sulit, padahal waktu itu penghasilan dari sector pertanian, perkebunan, kehutanan, peraian darat, tambang sangat besar sekali. Namun, semuanya tidak dapat dinikmati secara baik oleh masyarakat Rejang, karena cost (biaya) yang tinggi untuk penjualan hasil-hasil pertanian mereka.

Read Full Post »

Oleh Naim Emel Prahana

Sungguh suatu keberuntungan bagi kabupaten Lebong yang dibentuk berdasarkan UU No 39 tahun 2003 itu mempunyai potensi alam yang sangat refresemtatif untuk dikembang-bangunkan berbagai obyek wisata alam. Apalagi, dari 192.424 ha luas wilayah, 134.834,55 ha merupakan kawasan konservasi yang termasuk bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang luasnya mencapai 111.035 ha.
Ditambah lagi wilayah Kabupaten Lebong memiliki hutan lindung seluas 20.777, 40 ha dan hutan cagar alam seluas 3.022,15 ha. Memang secara produktivitas aspek-aspek kegiatan perekonomian mengalami kendala dengan adanya penetapan TNKS oleh SK Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 yang didukung oleh SK Menteri Pertanian dan Perkebunan RI No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan kawasan hutan lindung Rimbo Pengadang Register 42. sejarah penetapan kawasan hutan lindung yang mencakup wilayah Kabupaten Lebong itu dimulai pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai kawasan hutan Boven Lais atau disebut juga sebagai hutan batas Boswezen (BW).
Posisi itulah yang sering dijadikan alasan pemerintah kabupaten Lebong (Pemkab Lebong) untuk tidak bisa membangun wilayah itu semaksimal mungkin. Alasan itu sering menjadi sikap pesimis untuk memajukan Lebong, terutama meningkatkan kemajuan masyarakatnya di semua sektor kegiatan pembangunan. Namun demikian, kita tidak boleh terpaku dengan statuta kawasan hutan yang ada di Kabupaten Lebong itu. Apalagi bersikap pesimis.
Kabupaten Lebong dapat dikembangkan melalui pembangunan obyek wisata alam yang sangat besar pengaruhnya terhadap Pendapatan Asli Daerah itu. Sayangnya, hingga sekarang Pemkab Lebong belum membuat proposal tentang potensi obyek wisata daerah itu secara baik. Beberapa obyek wisata di Lebong yang dapat dikembangkan, memungkinan terjadi percepatan proses peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah itu.
Pengembangan dalam pembangunan sektor pariwisata di Lebong dapat dimasukkan ke dalam 3 (tiga) kelompok. Pertama, obyek wisata alam. Di mana alam Lebong yang sangat mempesona itu, dapat dikembangkan dan dibangun obyek wisata yang berskala Internasional. Misalnya keberadaan Danau Tes yang terletak antara Desa Kotadonok dengan Desa Tes (ibukota Kecamatan Lebong Selatan). Danau terbesar di provinsi Bengkulu itu mempunyai panjang sekitar 5 km dengan lebar rata-rata 200 meter.
Danau Tes yang mempunyai potensi ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, jika dikembangkan menjadi obyek wisata. Kabupaten Lebong mempunyai peluang yang besar untuk meningkatkan PADnya melalui sektor pariwisata. Walaupun diusia yang hampir 10 tahun ini, Pemkab Lebong tidak mempunyai sense of build, khusus untuk pembangunan atau pengelolaan sektor wisata. Sementara mengolah daerahnya sendiri masih belum terorganisir secara proporsional dan profesional sebagaimana daerah kabupaten lainnya yang seusia dan lebih maju.

Profil Danau Tes
Danau Tes mempunyai kekayaan cerita rakyat berbentuk; legenda, mitos, kepercayaan dan sejarah nenek moyang orang lebong. Danau yang terletak di 2 (dua) wilayah kemasyarakatan (marga), yaitu Marga Jurukalang dan Marga Bermani itu—kemudian kedua marga itu digabungkan dalam satu marga (hingga sistem kemargaan dihilangkan) menjadi Marga Bermani Jurukalang. Wilayah Marga Bermani Jurukalang itu (salah satu asal suku Lebong) membawahi mulai dari Desa Tapus (Topos, desa tertua di Lebong) sampai Desa Turun Lalang. Sekarang secara administratif Marga Bermani Jurukalang terbagi ke dalam 2 (dua) wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kecamatan Lebong Selatan (awalnya hanya wilayah Kecamatan Lebong Selatan).
Danau Tes yang merupakan perut Bioa Ketawen (Air Ketahun) merupakan wilayah sumber mata pencarian penduduk sekitarnya, termasuk sepanjang Air Ketahun yang melintasi Kabupaten Lebong. Di danau itu, masyarakatnya dapat mencari ikan dengan pancing, jala, bubu, jaring, mengacea (mancing di air deras), tajua (pancing yang dipasang malam hari), menyuluak (mencari ikan di malam hari dengan peralatan lampu petromak, tombak ikan bermata tiga (trisula) dan menggunakan perahu) dan sebagainya alat penangkap ikan khusus masyarakat Kotadonok dans ekitarnya.
Bila siang hari, ketika melintas di jalan raya di pinggir Danau Tes, dengan jelas dapat dilihat masyarakat mencari ikan di tengah Danau. Sedangkan yang mencari ikan dengan peralatan kecil, biasanya berada di pinggir-pinggir danau.
Di sisi lain, Danau Tes merupakan sarana transportasi air bagi penduduk Kotadonok yang mengolah areal persawahan di kawasan sawah Baten (nama arean pertanian yang terletak diseberang Desa Tes, Taba Anyar, Mubai dan Turun Tiging). Alat transportasi penduduk ke sawah dengan jarak tempuh sekitar 4 km adalah menggunakan perahu kayu. Demikian juga, untuk mengangkut hasil panen, perahu adalah alat transportasi yang digunakan sejak zaman dahulu kala.
Di sepanjang jalan di tepi Danau Tes yang menghubungkan Desa Kotadonok dengan Ibukota Kecamatan Lebong Selatan, Tes sepanjang 5 km—yang jalannya adalah jalan utama di Kabupaten Lebong. Dapat disaksikan betapa indahnya panorama Danau Tes. Di sana ada tempat wisata bernama Pondok Lucuk (Pondok Runcing; karena bentuk bangunannya sejak zaman Kolonial adalah atapnya mengerucut ke atas dengan luas bangunan sekitar 6 X 6 meter. Lokasinya berada di sebelah kanan arah jalan dari Kotadonok ke Tes, tepat berada di pinggir Danau Tes.
Tidak jauh dari lokasi itu, terdapat sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MtsAin) Kotadonok. Dan, di puncak bukit sebelah kiri, terdapat keramat yang populer disebut dengan nama Tepat Taukem (tepat= keramat, taukem= nama tempat). Di Tepat Taukem itu terdapat besi bundar. Yang konon kabarnya, bagi anak haram (orang yang dilahirkan karena perbuatan zina di luar ikatan perkawinan yang saha), tidak akan mampu mengangkat bola besi tersebut.
Di tempat yang sama terdapat peninggalan sejarah berupa meriam besi. Daerah Tepat Taukem saat ini sudah tumbuh subur hutan pinus yang ditanam pada zaman orde baru sebagai bentuk penghijauan daerah tersebut. (bersambung)

Read Full Post »

Oleh Naim Emel Prahana

Pendahuluan
Awal abad ke XX di Indonesia (Hindia Belanda) ramai diberitakan tentang kelebihan penduduk di Pulau Jawa. Dengan adanya kelebihan penduduk tersebut, dikhawatirkan munculnya persoalan-persoalan serius mengenai kelaparan yang akhirnya membuat rakyat menjadi melarat.

Pada September 1902 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan instruksi kepada Asisten Residen Sukabumi, HG Heyting dengan beslit (surat) No 17 tanggal 30 September 1902. dalam surat itu diminta Asisten Residen Sukabumi untuk mempelajari secermat mungkin untuk memindahkan penduduk di Pulau Jawa ke daerah seberang (ke pulau-pulau yang ada di luar Pulau Jawa).

Desember 1902, Asisten Residen Sukabumi, Heyting mengeluarkan rancangan anggaran belanja untuk penyelenggaraan perpindahan penduduk atau waktu itu disebut dengan kolonisasi, sedangkan pendudukan (rakyat) yang akan dipindahkan disebut dengan nama kolonis. Anggaran belanja itu akan dipergunakan untuk memindahkan penduduk dari 5 daerah di pulau Jawa ke 5 daerah di luar pulau Jawa. Anggaran belanjanya direncanakan sebesar f 7 miliun.

Akan tetapi, rencana itu belum dilaksanakan, karena pemerintah Belanda hanya menginginkan perpindahan pendudukan itu untuk satu daerah saja dan itu sebagai percobaan programn kolonisasi. Akibatnya, Heyting kembali mengajukan usulan, agar diadakan program percobaan kolonisasi (transmigrasi). Program itu tidak mengirimkan kolonis ke luar pulau Jawa melainkan perpindahan penduduk dari daerah Kedu ke selatan, yaitu ke Banyuwangi pada tahun 1905.

Boleh jadi, Heyting adalah tokoh transmigrasi (kolonisasi) di Indonesia. Walau demikian keputusan parlemen Belanda (Tweede Kamer) 1904 yang mengutus 2 (duia ) anggotanya ke Hindia Belanda, yaitu Cramer dan Fock . Perpindahan pendudukan dari daerah Kedu dan Madura ke Banyuwangi yang tak pernah terlaksanya, telah memberikan pelajaran yang berarti bagi pemerintah Hiandia Belanda. Terutama efektivitas penggunaan anggaran untuk mengirim para kolonis ke luar Jawa.

Cramer dan Fock sangat setuju jika perpidahan penduduk itu diarahkan dari Jawa ke luar Jawa. Sebab, program kolonisasi dari Kedua ke Banyuwangi diperintahkan untuk dihentikan.

Maka, tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda memulai program kolonisasi ke Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung dan Palembang. Namun, setelah dipertimbangkan, maka program kolonisasi pertama dilakukan ke Telukbetung (Lampung)—tepatnya di Gedong Tataan (dalam wilayah keresidenan Lampung).

Program kolonisasi tahun 1905 ke Gedong Tataan itu, kemudian disusul ke daerah-daerah lain di Lampung, seperti Gedong Dalam (Sukadana), Wonosobo dan sebagainya. Antara tahun 1905—1915 proghram kolonisasi diserahkan dan dipimpin oleh asisten wedana. Akan tetapi sejak tahun 1915 program kolonisasi di Lampung dipimpin oleh administrator bank. Dan, system kolonisasi pun diganti dengan system yang baru yaitu system utang.

Kolonisasi Bengkulu
Pada tahun 1905 diadakanlah pembicara antara pemerintah dengan resideng Bengkulu tentang perconaan pengiriman kolonis ke wilayah itu. Daerah yang dipilih adalah daerah Rejang Lebong sekitar 4 pal jaraknya dari tanah konsesi maskapai tambang Rejang Lebong.

Dari hasil penelitian dio daerah Bengkulu (Rejang), maka pada tahun 1908 kontrolir Kepahiang DG Hoeyer bersama dengan beberapa kepala marga (pasirah) mengajukan usul kolonisasi ke daerah Bengkulu. Dengan tujuan, agar ilmu yang tinggi dibidang pertanian masyarakat Jawa akan dapat memajukan daerah Bengkulu. Usulan itu diterima oleh pemerintah Belanda.

Pada tahun 1909 dikirimkanlah kolonis pertama ke daerah kepahiang. Para kolonis yang dikirim itu berasal dari daerah Bogor dan Periangan. Program itu berhasil dengan baik sekali. Maka, ke luarlah beslit No 17 tanggal 25 Januari 1909 dengan menyerahkan uang f 20.000,- sebagian uang itu untuk membantu kas marga (restitutie). Sebagian lagi untuk biaya pemindahan para kolonis dari daerah Pesundan ke Kepahiang.

Kemudian, 1909 itu juga dibuka 3 (tiga) desa kolonisasi di daerah rejang, yaitu Permu, Air Sompiang dan Talang Benih. Para kolonis yang pandai bercocok tanam itu, di daerah-daerah tersebut mengalami kesulitan masalah kesehatan. Oleh karena itu tanggal 20 Desember 1910 ke luarlah beslit No 23 yang isinya pemerintah menyediakan anggaran sebesar f 5.000,-untuk memindahkan kolonis suku Jawa ke daerah dekat Muara Aman (Lebong) dan f 3.000,-biaya untuk perbaikan saluran air yang melalui daerah itu.

Keadaan para kolonis di daerah Lebong lebih baik daripadfa keadaan kolonis di daerah Permu, Air Sompeang dan Talang Benih. Pada tahun 1911 pemerintah mendatangkan lagi kolonis dari JawaTengah dan Periangan yang ditempatkan di Sukabumi, dekat Muara Aman.

Tahun 1912 beberapa kolonis di Sukabumi dikirim ke Jawa, untuk mencari para kolonis baru yang akan diberangkatkan ke daerah Lebong. Sampai tahun 1915 di daerah Rejang sudah terdapat 791 jiwa kolonis dan di daerah Lebong sebanyak 268 jiwa kolonis. Pada tahun 1919 pemerintah membuka lagi daerah kolonisasi di Lebong yang diberi nama Magelang Baru. Keadaan para kolonis di Sukabumi dan Magelang Baru di Lebong itu keadaannya sangat baik dan sejahtera.

Para kolonis itu awalnya bekerja di kebun-kebun milik orang lain, kemudian setelah kebun-kebun kopi mereka berhasil. Mereka pun memperluas areal perkebunan dengan cara yang lebih baik lagi. Dalam tahun 1930 Bank Rayat di Lebong menyediakan uang sebesar f 5.000,-untuk pemindahan 43 keluarga kolonis dari daerah keresidenan Banyumas (Jawa Tengah). Para kolonis itu ditempatkan di dekat Kota Bengkulu 10 keluarga, Perbo 35 keluarga, di Perbo sudah tersedia tanah seluas 200 bau yang siap dikerjakan dan diairi.

Antara bulan Februari—Maret 1931 di daerah Perbo didatangkan lagi (ditempatkan) 600 jiwa kolonis. Mereka terdiri dari korban letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Kemudian ditempatkan lagi di Rejang kolonis dari Begelen sebanyak 150 jiwa. Pembukaan lahan-lahan kolonisasi terus dilakukan. Pada tahun 1932 di sebelah Timur Curup yaitu di Pelalo didatangkan lagi kolonis berasal dari Blitar (Jawa Timur), yang kedudukan mereka berdiri sendiri tanpa bantuan pemerintah.

Kolonisasi-kolonisasi baru tersu dibuka oleh pemerintah. Pada tahun 1935 pmerintah membuka daerah kolonisasi baru bernama Lubuk Mampo sebanyak 200 keluarga yang berasal dari buruh kontrak di Jawa. Untuk anggaran pengiriman biaya para kolonis itu ditanggung oleh Departemen Kehakiman.

Sebab, setelah tahun 1935 pemerintah meletakkan kewajiban pada kolonis untuk membayar ongkos pemindahan f  12,50 setiap keluarga. Sebagai balasannya, para kolonis untuk 1 keluarga mendapat 1 bau pekarangan dan 1 bau tanah sawah. Tanah-tanah itu dapat diperluas sekuat mereka mengerjakannya. Maka, ketika mereka panen sangat membutuhkan tenaga bawon.

Akhir tahun 1938 luas tanah yang sudah ditanami mencapai 1.766 bau, sedangkan sampai tahun 1939 luas areal sawah sudah mencapai 1.600 bau. Hasil panennya di Rejang Lebong mencapai 20—29 kwintal padi kering per hektar. Di Kemumu hasil lading sekitar 24 kwintal per hektar dan di Perbo 19 kwintal per hektar padi kering. Sedangkan hasil sawahnya antara 12 kwintal—44 kwintal per hektar padi kering.

Tanah kolonisasi di Kemumu luasnya mencapai 1.200 bau yang sangat cocok untuk dijadikan lahan sawah. Dari tanah seluas itu, 200 baunya sudah ditanami dan 396 bau tahun 1940 dibagikan lagi. Di antaranya 90 bau untuk tanah pekarangan para kolonis.

Di Perbo luas tanah sawah kolonis 456,5 bau yang telah dibagikan kepada 445 keluarga (1.752 jiwa). Pembagiannya adalah 301,5 bau yang sudah ditanami, sisanya 112 bau dibagikan lagi kepada keluarga kolonis. Untuk tanah pekarangan yang sudah dibagikan mencapai luas 120 bau. Untuk keluarga kolonis yang baru dating mendapat bantuan bahan makanan selama 1 minggu. Selanjutnya mereka akan mendapat hasil dari upahan di sawah milik kolonis yang sudah lama menetap. Para kolonis yang baru, setelah 1—4 bulan sudah dapat memetik hasil berupa palawija yang ditanam di lahan-lahan yang sudah dibagikan.

Hasil Pertanian 1939
(per hektar )
daerah                  padi sawah              padi lading
kolonisasi              dalam kwintal           dalam kwintal

Kemumu          25                      29
Perbo                   17                      16
Rejang Lebong   17                      18

Biasanya keluarga kolonis sehabis panen padi sawah atau lading menanam palawija yang hasilnya sangat baik. Mereka menghasilkan kacang 6,5 kwintal per hektar, kacang kedelai 7 kwintyal per hektar.

Akhir tahun 1940 di Kemumu jumlah keluarga kolonisasi sebanyak 281 KK atau 1.396 jiwa dan di Perbo 445 KK atau 1.792 jiwa. Sedangkan jumlah kolonis di seluruh keresidenan Bengkulu akhir tahun 1940 berjumlah 7.443 jiwa (orang), diantaranya 4.295 orang (kl. 1.273 keluarga) menetap di Rejang Lebong yang telah membuka 1.685 bau tanah.

Setelah pecah perang dunia ke II (PD II), di daerah keresidenan Bengkulu belum ada keluarga kolonis yang besar. Namun, kehadiran para kolonis di Bengkulu, khususnya di Kepahiang, Curup dan Muara Aman dan sekitarnya banyak memberikan aspirasi kepada penduduk asli Rejang tentang tata cara bertani dan lainnya.

Program kolonisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1905—1941, kemudian ketika Indonesia sudah merdeka. Maka program kolonisasi itu diganti namanya menjadi program transmigrasi yang mulai diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1950—1951.

Namun di daerah Bengkulu pengiriman transmigrasi tidak seperti di daerah lainnya di Indonesia, seperti ke Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Kalimantan Selatan, Lampung, Sulawesi, Maluku. Program transmigrasi pemerintah RI merupakan pemindahan keluarga dari Jawa ke luar pulau Jawa.

Untuk daerah Bengkulu, antara tahun 1980—1985 diadakan program transmigrasi yang ditempatkan di Mangkurajo. Suatu daerah pegunungan antara Desa Kotadonok dan Sawah Mangkurajo atau di jalan menuju ke Tambang emas Lebong Simpang. Program transmigrasi di Mangkurajo itu diadakan saat Kepala Desa Kotadonok dijabat oleh Bachnir.

Penempatan keluarga trans di Mangkurajo memang tidak berjalan mulus. Hampir 40 % keluarga trans meningggalkan daerah pemukimannya. Hanya di bagian Barat mendekati daerah Bioa Puak (Air Pauh) keadaan keluarga trans agak baik dan sukses. Sampai sekarang mereka sudah berhasil menggarap lahan yang sudah mereka terima, bahkan sudah dapat menambah luas lahan untuk perkebunan kopi dan tanaman lainnya.
Kesulitannya hanya masalah air. Karena, letak lokasi transmigrasi di Mangkurajo itu berada di atas bukit barisan yang cukup tinggi di atas permukaan laut. Walaupun di kaki bukit barisan (buki Mangkurajo) terdapat aliran sungai (Bioa) yang disebut Bioa Puak (Air Pauh), Bioa Putiak (Air Putih), Bioa Tamang, Bioa Tiket, Bioa Telang dan sungai-sungai kecil lainnya.

Read Full Post »